Jakarta – Kita sering mendengar quote yang dibuat oleh James Freeman Clarke, yaitu “Politisi memikirkan pemilu mendatang, Negrarawan memimikirkan generasi berikutnya,” tidak memerlukan otak cerdas untuk memaknai hal tersebut di negeri ini.
Bisa jadi benar, tapi bukannya tidak mungkin seorang politisi juga memiliki pandangan dan sikap seorang Negarawan. Pembuktiannya adalah track record yang dilalkukan sepanjang karir politiknya dalam mencapai ambisi yang diidamkannya.
Sudah terlalu banyak berita, cerita, gosip, bahkan hoax yang kita dengar, baca dan bahkan lihat dengan mata kepala milik kita sendiri. Pemimpin kita baik dalam skala kewilayahan yang luas, menengah, kecil, pimpinan institusi, lembaga pemerintah maupun independen, berpikir, bersikap dan bertindak hanya berdasarkan ego sektoral mereka sendiri.
Tingkatkan Ketahanan Pangan di Masa Pandemi, Babinsa Ajak Warga Binaan Tanam Sayuran
Sederhananya, ketika seseorang menjabat sebagai seorang pemimpin atau pimpinan di bidang apaun, harus memiliki kepiawaian secara umum, atau harus siap menjadi generalist. Selain pemahaman teknis di bidang yang dikuasainya, memimpin sebuah komunitas, apalagi yang menyangkut kewilayahan yang memilki penduduk dalam jumlah besar, tentunya memiliki persoalan masing-masing yang berbeda, unik dan yang jelas kompleks.
Jika pemimpin tersebut tidak mampu memiliki integritas, maka sulit akan menembus kompleksitas permasalahan yang timbul di lingkungannya.
Mantan Walikota Yogyakarta Haryadi Sayuti Terjaring OTT KPK RI
Menjadi pemimpin di Indonesia bukan perkara mudah. Meskipun dalam lingkup yang kecil, latar belakang kultur Indonesia yang termasuk heterogen atau multikultur, tentunya akan membawa berbagai potensi masalah yang bisa berkembang jika tidak tepat dalam memaintain ikatan dalam kelompok sosial yang ada. Maka tidak aneh jika di sebuah kota kabupaten di ujung timur atau di ujung barat Indonesia terdapat pendatang dari daerah yang bersebrangan letak geografisnya, berbeda ras dan sukunya, dan juga berbeda agamanya.
Hal paling krusial yang dibutuhkan Indonesia adalah pemimpin yang bijak. Pemimpin yang mampu bersikap sebagai seorang generalist, berprinsip “lebih baik tahu sedikit mengenai banyak hal, dari pada tahu banyak mengenai satu hal”, serta memiliki kepekaan kultural yang memadai, karena pemipin tersebut harus mampu membangun rasa nyaman bagi setiap anggotanya, atau warga wilayahnya.
Kelemahan banyak pemimpin di Indonesia adalah, tidak memiliki empati terhadap kelompok yang dipimpinnya, sehingga anggota atau warganya tidak merasa menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Memang teori bahwa Primordialisme dapat merusak Nasionalsme yang pernah ditanamkan di era 70an hingga akhir 80an bisa dipatahkan dengan kondisi kekinian. Kelokalan justru sangat mampu mendongkrak pola pikir dan rasa Nasionalisme. Bisa dibuktikan ketika Rendang dinobatkan sebagai salah satu makanan terenak di dunia, tidak hanya masyarakat Minang yang bangga, masyarakat Batak, Sunda, Papua, Banjar, dan lain-lain yang tidak bisa disebut satu persatu pasti akan bangga terhadap khazanah budaya bangsanya.
Bencana Alam Tanah Longsor di RM Saung 3 Sawangan Kota Depok, 2 Korban Meninggal Dunia
Tanpa mengecilkan arti nilai kepemipinan dari proses pencapaiannya untuk menjadi seorang pemipin, sebenarnya modal bangsa Indonesia menjadi pemimpin sebenarnya mudah, karena memiliki *”modal dasar” yang gratis*, yaitu *Pancasila.*
Jangankan untuk menjadi seorang pemipin formal, jika setiap warga negara memahamai dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan kebangsaaannya, maka negara ini akan aman sentosa. Jelas mana ranah publik, dan jelas pula apa yang menjadi ranah yang sifatnya privat. Tidak ada lagi pemaksaan kehendat seenak udelnya untuk memaksakan pemikirann bahwa pemikirannya lah yang benar.
Pemimpin yang mampu bersikap sebagai seorang generalist mampu menempatkan dirinya serbagai pengayom masyarakat yang dipimpinnya, karena bijak dalam berpikir, berucap dan bertidak, serta mampu menyeimbangkan prioritas pembangunan fisik dan pemberdayaan manusia. Pembangunan infrastruktur yang canggih tanpa pemberdayaan manusianya juga akan percuma. Dan yang tak kalah pentingnya, pemimpin-pemimpin di Indonesia, di bidang apapun juga, harus memiliki kepekaan kultural, karena mampu membangun potensi keberagaman yang ada sebagai sebuah keluatan kultural, dan *tahu dengan persis kemana potensi ini akan diproyeksikan sebagai Ketahanan Nasional*. (Red*/PPRI tim)
Oleh : Ruly Rahadian / Penulis : Pemerhati Perang Asimetris