Oleh Ruly Rahadian*/ Editor : Redaksi Titahnews
Jakarta – Dalam hitungan jam, kita akan bertemu dengan hari lahir Pancasila, yaitu tanggal 1 Juni. Tetunya hari ini merupakan hari yang sangat penting, dimana kita diingatkan sekali setahun bahwa pada tanggal tersebut, lahirlah Pandangan hidup bangsa Indonesia. Mirisnya, Selama ini kita memandang Pancasila hanya sebatas gimmick, dimana nilai-nilai Pancasila belum menjadi nilai fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memahami Pancasila sebagai fundamental negara dari sisi seorang rakyat, tentunya dapat memberikan haluan dasar bagaimana bersikap dan menjalani kehidupan. Karena tanpa sebuah tuntunan maka langkah manusia tersebut akan tersesat dan berjalan tanpa arah. Tuntunan yang dimaksud disini adalah bagaimana seorang manusia dapat melakukan aktivitas hidup secara universal, Jadi tidak hanya dari aspek sosial saja namun juga ekonomi, politik dan budaya.
Pada dasarnya pancasila sebagai ideologi negara yang parameternya dapat dijadikan patokan atau standar bagaimana seseorang yang notabene adalah bangsa Indonesia dianggap baik atau tidak, serta memenuhi kaidah sebagai manusia Pancasila. Dalam hal ini negara sudah memberikan haluan bagaimana sebuah tindakan dapat dilakukan. Sehingga dengan adanya haluan yang jelas, maka sistem sosial akan terbentuk secara harmonis. Konflik horizontal antar golonganpun dapat dicegah, sehingga semua orang dapat menikmati kebahagiaan secara adil dan merata.
Pancasila Sebagai Penuntun Berbangsa dan Bernegara
Sistem pemerintahan Indonesia juga harus menggunakan konsep Pancasila sebagai fundamentalnya. Karena ketika sebuah kepemimpinan tidak didasari asas yang jelas, maka dalam jangka panjang kelak akan merugikan bangsa kita sendiri. Apalagi Indonesia masyarakatnya tergolong heterogen, sehingga tidak mungkin menggunakan treatment yang sama di setiap wilayah etniknya. Disini sangat terlihat peran penting dari pancasila sebagai penuntun bagi mereka yang membutuhkan.
Fungsi spesifik dari Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dapat diibaratkan sebagai penuntun bagi setiap warga negara. Landasan ideologi ini adalah wajah dari warga Indonesia untuk memiliki perilaku dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bahkan jika ditinjau dari perspektif filsafat lebih dalam, konsep Pancasila merupakan sebuah sistem pengaturan kehidupan. Bagaimana pola interaksi antar individu dalam masyarakat, dan merupakan solusi dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di dalamnya.
Sebagai contoh klasik yang terjadi di negeri ini dimana masalah yang mengarah kepada konflik horizontal antar agama tertentu seharusnya tidak perlu terjadi. Jika semua warga negara memahami dan mengacu pada sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, jelas disitu terkandung makna bahwa negara ini menjamin semua warganya untuk memeluk keyakinannya masing-masing. Lepas dari tata cara dan ritualnya, selama orang tersebut menghormati Pancasila sebagai fundamental, maka Agama apapun tetap dihargai. Disinilah fungsi dan peran pancasila menjadi sangat penting untuk ditegakkan.
Masa Aksi Minta Polda Sumut Usut Tuntas Dugaan Korupsi Program Rehabilitasi Mangrove Di Labura
Begitu pula sebaliknya, konsep seperti ini juga berlaku terhadap sebuah agama mayoritas yang tidak boleh semena-mena mengeksploitasi keadaan, karena jumlah mereka yang besar. Bukan berarti berhak dan bisa menentukan segalanya di negara ini. Apabila hal seperti ini terjadi dengan modus menggunakan agama sebagai tameng untuk melakukan eksploitasi tersebut, dapat dipasikan persatuan indonesia sudah dilanggar.
Dan yang tak kalah penting, ketika keadilan tidak dapat dicapai dan kebaikan hanya dijadikan sebatas gimmick belaka, maka dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama, sistem sosial yang ada di negara ini akan lenyap. Dengan dasar sila pertama, proses dan langkah penerapan sila-sila berikutnya, berujung kepada sila ke lima tersebut, yakni Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan Sosial ini tentunya tidak akan tercapai jika masyarakatnya tidak mengindahkan nilai-nilai Ketuhanan, tidak mempedulikan aspek kemanusiaan, tidak bersatu dalam sebuah ikatan kebangsaan, mengabaikan musyawarah untuk mufakat, maka lupakan Negara ini menjadi Negara yang digambarkan dalam butir ke lima Pancasila, negara yang Adil Makmur Loh Jinawi.
Diduga PT JZD Tidak Mengakui PPUKK Dan Tidak Mau Mengikuti Aturan Pemkab Katapang
Kaitan Pancasila dengan Perang Asimetris
Secara sederhananya, bangsa ini adalah bangsa yang multikultur serta bangsa yang majemuk. Tidak ada pengikat se-ideal Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa seperti bangsa Indonesia ini. Harmoni yang terjadi di Indonesia sejak lama, membuat para aktor Perang Asimetris tidak suka, dan selalu berupaya memecah belah ikatan yang dilandasi aspek emosional kewilayahan ini.
Semua ini bisa terwujud karena karakter dasar bangsa ini adalah empati. Sikap empati ini sudah dibangun sejak jaman pulau-pulau besar menyatu dan sebelum jaman es mencair, sehingga pada akhirnya air laut masuk menjadi antara pulau-pulau tersebut. Para “anak air” menjaga hubungan kekerabatan antar pulau dan terus berlanjut, hingga berdatangan para aktor perang asimetris, sebut saja dengan masuknya bangsa Portugis, Belanda, dan lain-lain, yang menghembuskan berbagai strategi untuk memecah belah hubungan kekerabatan ini, sehingga dengan mudah menguasai berbagai titik strategis, terutama yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Jelas disini kita bisa memahami betapa pentingnya pemahaman Pancasila bagi setiap warga negara. Jika saja masyarakat kita benar-benar memahami esensi serta mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap sendi kehidupannya, maka berbagai ancaman non-tradisional seperti Perang Asimetris dapat diantisipasi secara optimal. Para aktor Perang Asimetris sangat memahami peta masyarakat Indonesia dan sangat “ketakutan” jika masyarakat kita menjadi manusia Pancasilais. Artinya, jika hal terjadi, maka upaya mereka untuk menguasai bangsa dan negara ini akan menemui kegagalan.
Halal Bihalal MIO Jabar Dihadiri Ketua Umum Dan Komunitas Penulis Serta Paguyuban Seni
Dengan dasar itu, logika berpikir kita harus kita balik. Pancasila-lah yang harus menjadi ancaman bagi para aktor Perang Asimetris, dan jika strategi-strategi Perang Asimtris tersebut mereka jalankan, mereka akan frustrasi karena strategi yang mainkan tidak mempan diterapkan di masyarakat kita yang benar-benar mengimplementasikan Pancasila sebagai pandangan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Negara ini milik kita. Bangsa ini milik kita. Masa kita mau negara kita diobok-obok oleh kepentingan para aktor baik dari luar negeri atau yang menggerogoti dari dalam?
Dalam mewujudkan konsep Pancasila sebagai tameng dalam menghadapi perang asimetris, diperlukan kesamaan visi dengan melakukaan konsultasi publik secara bersama dan terintegrasi, baik Pemerintah dengan DPR maupun dengan masyarakat, sehingga keberadaannya jelas dan mudah diimplementasikan. Selain itu, peningkatan edukasi masyarakat adalah salah satu faktor penentu kualitas unsur utama dalam menghadapi berbagai ancaman nirmiliter dalam perang asimetris.
Disinilah pentingnya sosialisi yang intens, bahkan strategi-strategi yang sering digunakan para aktor perang asimetris dapat diterapkan sebagai Kontra Asimetris, dan melakukan “Brainwashing” terhadap masyarakat dengan materi konsep pemahaman Pancasila sebagai Pedoman Hidup bangsa Indonesia. Dengan konsep propaganda yang selaras dengan teknologi terkini tentunya.
Impementasi Pancasila di Era Digital
Yang menjadi pokok persoalan adalah, perang asimetris sangat sulit diawasi karena tidak terlihat bentuknya. Apalagi kita sudah memasuki ranah Kehidupan digital, yang juga bisa kita rasakan jika dilihat dari sisi negatifnya bisa lebih mengerikan dari kehidupan nyata. Hal ini bisa terlihat dari minimnya kedewasaan warga yang menggunakan media digital tersebut. Salah satu contoh kongkrit yang bisa kita lihat dan rasakan adalah menjangkitnya wabah Toxic Habits.
Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (ISWAMI) Berperan Perkuat Hubungan Malaysia-Indonesia
Mengapa hal ini terjadi tentu saja karena banyak yang kurang memahami fungsi dan peran pancasila dalam kehidupan era digital. Hal ini bisa terlihat dengan maraknya terjadi Clout Chasing dan Virtue Signaling, yang merupakan contoh buruk dari penggunaan media yang salah. Ada banyak norma yang dapat diterapkan ketika menggunakan media seperti ini. Sekali lagi menentukan pikir, kata, dan tindakan baik adalah sebuah keharusan. Karena jika dilakukan sebaliknya akan cukup berbahaya.
Memang pada faktanya keributan di media sosial memiliki peluang yang sangat minim untuk memicu gerakan nyata. Namun inkonsistensi dari adanya gerakan tersebut tentu mengganggu stabilitas mental rakyat. Apabila hal ini dibiarkan dalam jangka waktu lama, tentu dapat mempengaruhi pola pikir seperti Radikalisme dan Intoleransi yang merupakan salah satu akibat minimnya pemahaman Pancasila. Bahkan bisa dikatakan jauh dari kebijaksanaan pancasila sebagai dasar negara.
Oleh karena itu kontrol terhadap penggunaan media digital harus diperhatikan dengan seksama. Jika dibiarkan terlalu bebas maka dapat mempengaruhi informasi yang ada di dalamnya. Pemanfaatan Teknologi Informasi yang benar dan terstruktur, tentunya akan berdampak positif terhadap pemahaman masyarakat kita. Tidak perlu secara harfiah menjelaskan apa itu Pancasila, apalagi dengan konsep doktrin. Cara-cara seperti itu justru akan membangun persepsi yang salah tentang Pancasila, bahkan mungkin akan membangun sikap antipati terhadap Pancasila itu sendiri.
Melalui Teknologi mutakhir, khususnya teknologi digital, pemahaman Pancasila dapat dikelola secara optimal dengan sistem yang terintegrasi. Konsep dasar yang harus dibangun sejak awal adalah merupakan konsep Kontra Asimetris yang harus terus dijalankan secara simultan, masif dan terstruktur. Tentunya harus ada stimulan-stimulan dalam bentuk kemasan yang menarik, sehingga masyarakat tertarik dan benar-benar memahami pentingnya Pancasila, serta membangun aspek moralitas bangsa yang siaga Bela Negara dalam mengantisipasi gempuran senjata Perang Asimetris dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)
*Penulis adalah Pemerhati Perang Asimetris